Profil Ponpes

Pendiri Pesantren

Adalah profil singkat Pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, yaitu KH. Mufid Mas’ud bersama istrinya, Ny. Hj. Jauharoh Munawwir.

KH. Mufid Mas’ud

Pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA) Jalan Kaliurang KM 12,5 dusun Candi kelurahan Sardonoharjo kecamatan Ngaglik kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Silsilah dan Kelahiran

Beliau dilahirkan di kampung Sondakan, Kotamadya Surakarta (Solo) pada tanggal 26 Januari 1927 dengan nama Muhammad Mufid, dengan harapan agar beliau bisa menjadi orang yang bermanfaat, baik ilmu maupun hartanya. Ayahnya bernama Ali Mas’ud dan ibunya bernama Syahidah. Beliau adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, 4 putra dan 3 putri. Ketika beliau masih dalam timangan ibunya, beliau diajak hijrah ke dusun Golo, desa Paseban, kecamatan Tembayat, kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

Urutan nasab beliau adalah sebagai berikut:

Mufid Mas’ud bin Ali Mas’ud bin RM Ilhar (RM. Idzhar) bin R. Mindel IV bin Pangeran Mindel III bin Pangeran Mindel II bin Pangeran Mindel I bin Raden Bergala bin Pangeran Gedong Wekasan bin Panembahan Mesjid Wetan bin Panembahan Secara nasab, beliau merupakan keturunan ke-12 Sunan Pandanaran Bayat Klaten Jawa Tengah.Minangkabul bin Panembahan Jiwo bin Sunan Pandanaran. (Karena Sunan Pandanaran berdakwah dan wafat di Bayat, maka tak heran jika beliau juga mendapat panggilan Sunan Bayat).

Hal ini karena setelah meninggalnya RM. Idzhar (kakek Kyai Mufid), tak ada lagi yang mengurus masjid Golo, masjid keluarga, warisan Sunan Pandanaran. Maka, atas kesepakatan saudara-saudaranya, Ali Mas’ud (ayah kyai Mufid) diminta untuk mengurus masjid tersebut. Jadi, walaupun lahir di Surakarta, namun bisa dikatan, dari Klatenlah dimulainya kisah hidup KH. Mufid Mas’ud.

Pernikahan dengan Keluarga Krapyak

Tak lama setelah nyantri lagi di Krapyak, oleh KH Abdullah dan KH. Abdul Qodir (keduanya adalah putra KH. Munawir) Mufid muda diminta untuk menikahi adiknya yang bernama Jauharoh binti KH. Munawir yang saat itu masih baru 14 tahun. Mendapat tawaran itu, Mufid muda seolah “terkena durian jatuh”. Dengan penuh ketawadu’an, Mufid muda merasa tak pantas mendapatkan istri seorang putri ulama besar. Padahal, saat itu, banyak putra-putra kyai yang nyantri di Krapyak. Tapi, mengapa malah Mufid yang terpilih. Itulah jodoh, sudah ada yang mengatur.Dengan telah menjadi seorang suami-dan menjadi bagian keluarga Krapyak-kini tugas Mufid muda bertambah: mengajar ngaji para santri putri dan mengurus istri. Karena istri sepenuhnya menjadi tugas suaminya, akhirnya apapun yang menjadi kebutuhan istri, suamilah yang memenuhi, termasuk kebutuhan ilmu perngetahuan. Dalam bimbingan kyai Mufid, Jauharoh diajari berbagai macam bidang ilmu, baik Al Qur’an mamupun kutubutturost (kitab kuning).

Dengan dukungan dan kedisiplinan yang diajarkan kyai Mufid, kiprah ibu Jauharoh semakin lama semakin berkembang. Dengan ibu Jauharoh ini, kyai Mufid dikaruniai 10 putra: 2 laki-laki dan 8 perempuan.

Mendirikan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran

Suatu hari pada tahun 1965, untuk pertama kalinya kyai Mufid sowan kepada KH. Abdul Hamid Pasuruan Jawa Timur. Saat itu, beliau di antar H. Abdul Kholiq Singosari Malang. Kedatangan Kyai Mufid itu ternyata disambut hangat oleh kyai Hamid.

Sebagai pembuka, H. Kholiq matur kepada kyai Hamid:

Meniko bapak Mufid, mantu mbah Munawir Krpayak. Ugi khidmah datang KH. Ali Ma’shum” (Ini bapak Mufid, menantu mbah Munawir Krapyak, yang juga mengabdi kepada KH. Ali Ma’shum).

Mendengar ucapan itu, lantas kyai Hamid masuk ke kamar dan keluar lagi dengan membawa handuk  dan sabun. Beliau berkata:

“Mas mufid, kulo ndamel kulah enggal, monggo kulo aturi siram” (Mas Mufid, saya mempunyai kamar mandi baru, mari saya persilahkan mandi).

Dengan mendapat tawaran seperti itu, kyai Mufid merasa mendapat suatu kehormatan yang tiada tara. Pasalanya saat itu, juga banyak tamu yang hadir, namun hanya kyai Mufid dan H. Kholiq yang dipersilahkan mandi. Mulai saat itu, kyai Mufid yang masih tinggal di Krapyak dan belum memunyai pesantren, sering sowan kepada kyai Hamid. Hingga pada kesekaian kalinya, kyai Hamid memberikan isyaroh kepada kyai Mufid untuk pindah dari Krapyak. Isyaroh itu beliau sampaikan melalui bait-bait Al Fiyyah:

وَفِى اتّـِحَادِ الرُّتْبَةِ الْزَمْ فَصْلَا   #    وَقَدْ يُبِيْحُ فِيْهِ وَصْلَا

Secara tekstual nahwiyyah, terjemah dari nadlom di atas adalah sebagai berikut:

“Wajib memunfashilkan salah satu (dari dua) dlomir mashub yang bertemu dan dalam satu tingkatan, tetapi terkadang boleh memuttashilkan dua dlomir ghaib yang berbeda lafadznya”.

Dan yang jelas, bukan makna leterleg seperti itu yang kyai Hamid kehendaki, akan tetapi makna filosofinya. Yaitu, dengan tujuan syi’ar islam, kyai Mufid supaya pindah dari Krapyak, karena di sana sudah ada kyai Ali Maksum.

Suatu ketika, kyai Hamid juga memberikan isyaroh lagi agar kyai Mufid mau pindah dari Krapyak. Ketika itu, saat kyai Hamid sedang menerima banyak tamu-dan kyai Mufid sebagai salah satu diantaranya-tamu-tamu yang hadir itu diminta untuk berdiri dan membaca salawat.

Setelah selesai dan semuanya duduk seperti sediakala, kyai Hamid ngendiko“Mas Mufid, kanjeng nabi itu hijrah dari Makkah ke Madinah. Para sahabat senang. Agama islam semuiyar, dan bahagia-bahagia lainnya”.

***

Lain waktu, ketika beliau sowan lagi ke ndalemkyai Hamid, beliau mendapat satu isyaroh lagi. Saat itu, selain kyai Mufid yang bertamu, juga ada seorang laki-laki yang membawa anaknya. Dalam pertemuan itu, kyai Hamid berbicara kepada anak kecil itu: “besok yen kowe wes gedhe, mondok neng gene pak kyai iki (sambil menunjuk kyai Mufid). Pondoke bapak kyai iki nggone wong ngapalake Qur’an. Rejekine gembrojok seko kiwo, seko tengen, seko ngarep, seko mburi”. Satu hal yang membuat kyai Mufid merasa agak aneh: saat itu beliau belum memiliki pesantren.

Isyaroh lain juga kyai Hamid sampaikan suatu saat ketika kyai Mufid sowan lagi. Saat itu, kyai Hamid memberi isyaroh agar kyai Mufid berhijrah ke Yogyakarta bagian utara. Sebenarnya, saat itu kyai Mufid juga sudah mendapatkan tawaran tanah wakaf di Yogyakarta bagian urata, yang nantinya menjadi PPSPA. Namun kyai Mufid belum mengatakannya kepada kyai Hamid.

Saat itu, kyai Mufid disuruh masuh ke kamar dan makan pisang. “iki gedhange wes mateng-mateng, ora rekoso, kari mangan”.Ungkapan itu, dipahami kyai Mufid sebagai perintah agar beliau segera melakukan hijrah.

***

Suatu saat, kyai Mufid sowan lagi kepada kyai Hamid Pasuruan, dan beliau diberi 2 buah sarung oleh kyai Hamid: satu untuk beliau (kyai Mufid) sendiri dan satu lagi untuk kyai Ali Ma’shum. Dan mulai saat itulah, kyai Mufid hijrah dari Krapyak menuju Yogyakarta bagian utara seperti halnya yang diperintahkan kyai Hamid.

“Demikian isyaroh kyai Hamid kepada saya. Sehingga tahun 1976, saya melaksanakan hijrah dari Yogyakarta bagian utara dengan modal tawakkal ‘alallah mendirikan pondok pesantren bagi orang-orang yang ingin menghafalkan Al Qu’ran, Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA)” demikian kata kyai Mufid seperti dikutip majalah Suara Pandanaran (majalah PPSPA).

Sejak saat itu, kyai Mufid hidup dan menetap di Jalan Kaliurang KM 12,5 Dusun Candi Kelurahan Sardonoharjo Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Awalnya, beliau hanya menempati tanah wakaf seluas 2400 mdengan bangunan masjid dan rumah kecil di atasnya. Kini, dengan jerih payah, usaha dan doa kyai Mufid, PPSPA menjadi salah satu pondok pesantren terbesar di bumi Yogyakarta. Jadi, memang pendirian PPSPA tak bisa dipisahkan dengan pribadi kyai Hamid Pasuruan Jawa Timur.

Meneladani Jejak dan Petuah Kyai Mufid

Sebagai seorang ulama, tentunya banyak perbuatan dan perkataan kyai Mufid yang pantas ditiru dan dijadikan pegangan hidup bagi siapa saja yang ingin menjadikan hidupnya mulia, baik di dunia maupun di akhirat. Diantara sekian banyak jejak, ajaran, dan petuah kyai Mufid, pada tulisan kali ini hanya penulis cantumkan beberapa saja.

Al Qur’an Dan Salawat

Sudah bukan asing lagi, bila Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA) itu tempatnya orang yang ingin menghafalkan Al Qur’an. Dan sebagai pelengkapnya, kyai Mufid menyarankan para anak didiknya untuk membaca salawat dala’ilul khoirot minimal seminggu sekali. Istilahnya beliau, ”Al Qur’an di tangan kanan dan salawat di tangan kiri”.

Jangan suka meminta

Sebagai seorang kyai pesantren, beliau memiliki satu prinsip-dan ini juga yang selalu beliau ajarkan kepada para santrinya, “Jangan suka meminta bantuan, termasuk kepada Negara”.

Namun, jika ada pihak yang memberikan bantuan, silahkan saja diterima. Itupun asalkan niatnya benar-benar ikhlas dan tanpa ‘embel-embel’ apa-apa.

Dekat dengan santri

Walalupun sebagai seorang guru bagi santri-santrinya, namun beliau tak mau dipanggil “kyai”. Beliau lebih suka dipanggil “bapak”.

Ini menunjukkan bahwasanya beliau bukan sekedar menjadi seorang guru yang pantas digugu dan ditiru, namun beliau berusaha menjadi ayah (orangtua) kedua bagi para santrinya.

Pandangan tehadap ilmu manfaat

Pernah suatu ketika seorang santri meminta didoakan agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Apa kata beliau? “ilmu iku iso manfaat terserah awake dewe-dewe”
(ilmu itu bisa bermanfaat terserah pribadi (yang bersangkutan) sendiri-sendiri).

Disini, beliau secara jelas mengajarkan: jika ingin memiliki ilmu manfaat, maka seorang santri harus ‘mau’ melakukan sesuatu yang bisa membuat ilmunya manfaat, antara lain: tirakat, hormat kepada guru, dan lain-lain.

Wafatnya Sang Kyai

Tanggal 19 Maret 2007 seolah menjadi hari-hari terkahir kyai Mufid. Saat itu, seusai pulang dari Jawa Tengah, kyai Mufid merasakan sakit pada tulang bagian belakang dan setelah itu, sebagian besar waktunya beliau gunakan untuk beristirahat.

Hingga keesesokan harinya, keadaan seperti itu masih beliau rasakan. Akhirnya, beliau meminta putranya, KH. Mu’tashim Billah untuk membawanya ke Rumah Sakit Harapan Insani (RS. HI) milik Prof. Dr. H. Gunadi, M.Sc yang merupakan teman baik kyai Mufid.

Disana, di RS. HI, kyai Mufid mendapat perhatian khusus dengan penjagaan dan pemantauan selama 24 jam non stop dari direktur RS HI, dr. Cempaka Tursina, seorang dokter ahli saraf.

Menurut dr. Cempaka, kyai Mufid, saat itu hanya mengalami ‘sakit tulang belakang’ yang dalam istilah kedokteran disebut ‘terdapat serabut kecil syaraf di tulang belakang yang terjepit akibta proses pengapuran”. Gejala ini sangat masuk akal jika dialami oleh kyai Mufid yang sangat sering kelelehan.

Sehingga, pada 29 maret beliau dibawa ke Panti Rapih untuk melakukan foto rontgen syaraf, karena saat itu, Panti Rapihlah yang menjadi salah satu dari dua rumah sakit di Yogyakarta yang memiliki alat foto syaraf.

Namun, keadaan beliau semakin lama semakin memburuk. Dan pada hari Jum’at, 30 Maret beliau merasakan sedikti sakit pada bagian perut. Atas saran dari RS. HI, baliau harus dibawa ke rumah sakit yang lebih besar dan lebih lengkap, yaitu: Jogja International Hospital (JIH).

Di JIH, beliau juga mendapatkan satu hal yang sama dengan yang di  RS. HI: perhatian khusus. Malah, direktur neurologi JIH, Prof. dr. H. Rusdi Lamsudin, telah meminta seluruh dokter spesialis kenalannya untuk ikut membantu pengobatan kyai Mufid.

Alhamdulillah, selama di JIH, kesehatan kyai Mufid semakin membaik.

Namun, sepertinya takdir berkata lain. Walaupun secara medis keadaan beliau dinilai baik, namun mungkin saat itulah saatnya beliau tutup usia.

Akhirnya, hari itu, selasa kliwon 2 April 2007 (17 rabiul awal 1428), dengan dituntun membaca kalimat tayyibah oleh KH. Mu’tashim Billah dan beberapa anggota keluarganya, beliau menghembuskan nafas terakhir. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Hari itu seolah menjadi hari paling bersejarah bagi umat islam Yogyakarta umumnya dan keluarga Pondok Pesantren Sunan Pandanaran khususnya. Hari itu, sang pendiri, KH. Mufid Mas’ud kembali ke hadapan Allah SWT, tuhan semesata alam.

SILSILAH DAN PROFIL

Pendiri Pesantren

Adalah profil singkat Pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, yaitu KH. Mufid Mas’ud bersama istrinya, Ny. Hj. Jauharoh Munawwir.

KH. Mufid Mas’ud

Pendiri Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA) Jalan Kaliurang KM 12,5 dusun Candi kelurahan Sardonoharjo kecamatan Ngaglik kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Silsilah dan Kelahiran

Beliau dilahirkan di kampung Sondakan, Kotamadya Surakarta (Solo) pada tanggal 26 Januari 1927 dengan nama Muhammad Mufid, dengan harapan agar beliau bisa menjadi orang yang bermanfaat, baik ilmu maupun hartanya. Ayahnya bernama Ali Mas’ud dan ibunya bernama Syahidah. Beliau adalah anak ketiga dari tujuh bersaudara, 4 putra dan 3 putri.

Ketika beliau masih dalam timangan ibunya, beliau diajak hijrah ke dusun Golo, desa Paseban, kecamatan Tembayat, kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah.

Urutan nasab beliau adalah sebagai berikut:

Mufid Mas’ud bin Ali Mas’ud bin RM Ilhar (RM. Idzhar) bin R. Mindel IV bin Pangeran Mindel III bin Pangeran Mindel II bin Pangeran Mindel I bin Raden Bergala bin Pangeran Gedong Wekasan bin Panembahan Mesjid Wetan bin Panembahan Secara nasab, beliau merupakan keturunan ke-12 Sunan Pandanaran Bayat Klaten Jawa Tengah.Minangkabul bin Panembahan Jiwo bin Sunan Pandanaran.

 (Karena Sunan Pandanaran berdakwah dan wafat di Bayat, maka tak heran jika beliau juga mendapat panggilan Sunan Bayat).

Hal ini karena setelah meninggalnya RM. Idzhar (kakek Kyai Mufid), tak ada lagi yang mengurus masjid Golo, masjid keluarga, warisan Sunan Pandanaran. Maka, atas kesepakatan saudara-saudaranya, Ali Mas’ud (ayah kyai Mufid) diminta untuk mengurus masjid tersebut.Jadi, walaupun lahir di Surakarta, namun bisa dikatan, dari Klatenlah dimulainya kisah hidup KH. Mufid Mas’ud.

Pernikahan dengan Keluarga Krapyak

Tak lama setelah nyantri lagi di Krapyak, oleh KH Abdullah dan KH. Abdul Qodir (keduanya adalah putra KH. Munawir) Mufid muda diminta untuk menikahi adiknya yang bernama Jauharoh binti KH. Munawir yang saat itu masih baru 14 tahun. Mendapat tawaran itu, Mufid muda seolah “terkena durian jatuh”. Dengan penuh ketawadu’an, Mufid muda merasa tak pantas mendapatkan istri seorang putri ulama besar. Padahal, saat itu, banyak putra-putra kyai yang nyantri di Krapyak. Tapi, mengapa malah Mufid yang terpilih. Itulah jodoh, sudah ada yang mengatur. Dengan telah menjadi seorang suami-dan menjadi bagian keluarga Krapyak-kini tugas Mufid muda bertambah: mengajar ngaji para santri putri dan mengurus istri. Karena istri sepenuhnya menjadi tugas suaminya, akhirnya apapun yang menjadi kebutuhan istri, suamilah yang memenuhi, termasuk kebutuhan ilmu perngetahuan. Dalam bimbingan kyai Mufid, Jauharoh diajari berbagai macam bidang ilmu, baik Al Qur’an mamupun kutubutturost (kitab kuning). Dengan dukungan dan kedisiplinan yang diajarkan kyai Mufid, kiprah ibu Jauharoh semakin lama semakin berkembang. Dengan ibu Jauharoh ini, kyai Mufid dikaruniai 10 putra: 2 laki-laki dan 8 perempuan.

Mendirikan Pondok Pesantren Sunan Pandanaran

Suatu hari pada tahun 1965, untuk pertama kalinya kyai Mufid sowan kepada KH. Abdul Hamid Pasuruan Jawa Timur. Saat itu, beliau di antar H. Abdul Kholiq Singosari Malang. Kedatangan Kyai Mufid itu ternyata disambut hangat oleh kyai Hamid.

Sebagai pembuka, H. Kholiq matur kepada kyai Hamid:

Meniko bapak Mufid, mantu mbah Munawir Krpayak. Ugi khidmah datang KH. Ali Ma’shum” (Ini bapak Mufid, menantu mbah Munawir Krapyak, yang juga mengabdi kepada KH. Ali Ma’shum)

Mendengar ucapan itu, lantas kyai Hamid masuk ke kamar dan keluar lagi dengan membawa handuk  dan sabun. Beliau berkata:

“Mas mufid, kulo ndamel kulah enggal, monggo kulo aturi siram” (Mas Mufid, saya mempunyai kamar mandi baru, mari saya persilahkan mandi). Dengan mendapat tawaran seperti itu, kyai Mufid merasa mendapat suatu kehormatan yang tiada tara. Pasalanya saat itu, juga banyak tamu yang hadir, namun hanya kyai Mufid dan H. Kholiq yang dipersilahkan mandi.

Mulai saat itu, kyai Mufid yang masih tinggal di Krapyak dan belum memunyai pesantren, sering sowan kepada kyai Hamid. Hingga pada kesekaian kalinya, kyai Hamid memberikan isyaroh kepada kyai Mufid untuk pindah dari Krapyak. Isyaroh itu beliau sampaikan melalui bait-bait Al Fiyyah:

وَفِى اتّـِحَادِ الرُّتْبَةِ الْزَمْ فَصْلَا   #    وَقَدْ يُبِيْحُ فِيْهِ وَصْلَا

Secara tekstual nahwiyyah, terjemah dari nadlom di atas adalah sebagai berikut:

“Wajib memunfashilkan salah satu (dari dua) dlomir mashub yang bertemu dan dalam satu tingkatan, tetapi terkadang boleh memuttashilkan dua dlomir ghaib yang berbeda lafadznya”.

Dan yang jelas, bukan makna leterleg seperti itu yang kyai Hamid kehendaki, akan tetapi makna filosofinya. Yaitu, dengan tujuan syi’ar islam, kyai Mufid supaya pindah dari Krapyak, karena di sana sudah ada kyai Ali Maksum.

Suatu ketika, kyai Hamid juga memberikan isyaroh lagi agar kyai Mufid mau pindah dari Krapyak. Ketika itu, saat kyai Hamid sedang menerima banyak tamu-dan kyai Mufid sebagai salah satu diantaranya-tamu-tamu yang hadir itu diminta untuk berdiri dan membaca salawat.

Setelah selesai dan semuanya duduk seperti sediakala, kyai Hamid ngendiko“Mas Mufid, kanjeng nabi itu hijrah dari Makkah ke Madinah. Para sahabat senang. Agama islam semuiyar, dan bahagia-bahagia lainnya”.

***

Lain waktu, ketika beliau sowan lagi ke ndalemkyai Hamid, beliau mendapat satu isyaroh lagi. Saat itu, selain kyai Mufid yang bertamu, juga ada seorang laki-laki yang membawa anaknya. Dalam pertemuan itu, kyai Hamid berbicara kepada anak kecil itu: “besok yen kowe wes gedhe, mondok neng gene pak kyai iki (sambil menunjuk kyai Mufid). Pondoke bapak kyai iki nggone wong ngapalake Qur’an. Rejekine gembrojok seko kiwo, seko tengen, seko ngarep, seko mburi”. Satu hal yang membuat kyai Mufid merasa agak aneh: saat itu beliau belum memiliki pesantren.

Isyaroh lain juga kyai Hamid sampaikan suatu saat ketika kyai Mufid sowan lagi. Saat itu, kyai Hamid memberi isyaroh agar kyai Mufid berhijrah ke Yogyakarta bagian utara.

Sebenarnya, saat itu kyai Mufid juga sudah mendapatkan tawaran tanah wakaf di Yogyakarta bagian urata, yang nantinya menjadi PPSPA. Namun kyai Mufid belum mengatakannya kepada kyai Hamid.

Saat itu, kyai Mufid disuruh masuh ke kamar dan makan pisang. “iki gedhange wes mateng-mateng, ora rekoso, kari mangan”.Ungkapan itu, dipahami kyai Mufid sebagai perintah agar beliau segera melakukan hijrah.

***

Suatu saat, kyai Mufid sowan lagi kepada kyai Hamid Pasuruan, dan beliau diberi 2 buah sarung oleh kyai Hamid: satu untuk beliau (kyai Mufid) sendiri dan satu lagi untuk kyai Ali Ma’shum.Dan mulai saat itulah, kyai Mufid hijrah dari Krapyak menuju Yogyakarta bagian utara seperti halnya yang diperintahkan kyai Hamid.

“Demikian isyaroh kyai Hamid kepada saya. Sehingga tahun 1976, saya melaksanakan hijrah dari Yogyakarta bagian utara dengan modal tawakkal ‘alallah mendirikan pondok pesantren bagi orang-orang yang ingin menghafalkan Al Qu’ran, Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA)” demikian kata kyai Mufid seperti dikutip majalah Suara Pandanaran (majalah PPSPA).

Sejak saat itu, kyai Mufid hidup dan menetap di Jalan Kaliurang KM 12,5 Dusun Candi Kelurahan Sardonoharjo Kecamatan Ngaglik Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Awalnya, beliau hanya menempati tanah wakaf seluas 2400 mdengan bangunan masjid dan rumah kecil di atasnya.

Kini, dengan jerih payah, usaha dan doa kyai Mufid, PPSPA menjadi salah satu pondok pesantren terbesar di bumi Yogyakarta.Jadi, memang pendirian PPSPA tak bisa dipisahkan dengan pribadi kyai Hamid Pasuruan Jawa Timur.

Meneladani Jejak dan Petuah Kyai Mufid

Sebagai seorang ulama, tentunya banyak perbuatan dan perkataan kyai Mufid yang pantas ditiru dan dijadikan pegangan hidup bagi siapa saja yang ingin menjadikan hidupnya mulia, baik di dunia maupun di akhirat.Diantara sekian banyak jejak, ajaran, dan petuah kyai Mufid, pada tulisan kali ini hanya penulis cantumkan beberapa saja.

Al Qur’an Dan Salawat

Sudah bukan asing lagi, bila Pondok Pesantren Sunan Pandanaran (PPSPA) itu tempatnya orang yang ingin menghafalkan Al Qur’an. Dan sebagai pelengkapnya, kyai Mufid menyarankan para anak didiknya untuk membaca salawat dala’ilul khoirot minimal seminggu sekali. Istilahnya beliau, ”Al Qur’an di tangan kanan dan salawat di tangan kiri”.

Jangan suka meminta

Sebagai seorang kyai pesantren, beliau memiliki satu prinsip-dan ini juga yang selalu beliau ajarkan kepada para santrinya, “Jangan suka meminta bantuan, termasuk kepada Negara”.

Namun, jika ada pihak yang memberikan bantuan, silahkan saja diterima. Itupun asalkan niatnya benar-benar ikhlas dan tanpa ‘embel-embel’ apa-apa.

Dekat dengan santri

Walalupun sebagai seorang guru bagi santri-santrinya, namun beliau tak mau dipanggil “kyai”. Beliau lebih suka dipanggil “bapak”.

Ini menunjukkan bahwasanya beliau bukan sekedar menjadi seorang guru yang pantas digugu dan ditiru, namun beliau berusaha menjadi ayah (orangtua) kedua bagi para santrinya.

Pandangan tehadap ilmu manfaat

Pernah suatu ketika seorang santri meminta didoakan agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Apa kata beliau? “ilmu iku iso manfaat terserah awake dewe-dewe” (ilmu itu bisa bermanfaat terserah pribadi (yang bersangkutan) sendiri-sendiri).Disini, beliau secara jelas mengajarkan: jika ingin memiliki ilmu manfaat, maka seorang santri harus ‘mau’ melakukan sesuatu yang bisa membuat ilmunya manfaat, antara lain: tirakat, hormat kepada guru, dan lain-lain.

Wafatnya Sang Kyai

Tanggal 19 Maret 2007 seolah menjadi hari-hari terkahir kyai Mufid. Saat itu, seusai pulang dari Jawa Tengah, kyai Mufid merasakan sakit pada tulang bagian belakang dan setelah itu, sebagian besar waktunya beliau gunakan untuk beristirahat.

Hingga keesesokan harinya, keadaan seperti itu masih beliau rasakan. Akhirnya, beliau meminta putranya, KH. Mu’tashim Billah untuk membawanya ke Rumah Sakit Harapan Insani (RS. HI) milik Prof. Dr. H. Gunadi, M.Sc yang merupakan teman baik kyai Mufid.Disana, di RS. HI, kyai Mufid mendapat perhatian khusus dengan penjagaan dan pemantauan selama 24 jam non stop dari direktur RS HI, dr. Cempaka Tursina, seorang dokter ahli saraf.Menurut dr. Cempaka, kyai Mufid, saat itu hanya mengalami ‘sakit tulang belakang’ yang dalam istilah kedokteran disebut ‘terdapat serabut kecil syaraf di tulang belakang yang terjepit akibta proses pengapuran”. Gejala ini sangat masuk akal jika dialami oleh kyai Mufid yang sangat sering kelelehan.Sehingga, pada 29 maret beliau dibawa ke Panti Rapih untuk melakukan foto rontgen syaraf, karena saat itu, Panti Rapihlah yang menjadi salah satu dari dua rumah sakit di Yogyakarta yang memiliki alat foto syaraf.Namun, keadaan beliau semakin lama semakin memburuk. Dan pada hari Jum’at, 30 Maret beliau merasakan sedikti sakit pada bagian perut. Atas saran dari RS. HI, baliau harus dibawa ke rumah sakit yang lebih besar dan lebih lengkap, yaitu: Jogja International Hospital (JIH) Di JIH, beliau juga mendapatkan satu hal yang sama dengan yang di  RS. HI: perhatian khusus. Malah, direktur neurologi JIH, Prof. dr. H. Rusdi Lamsudin, telah meminta seluruh dokter spesialis kenalannya untuk ikut membantu pengobatan kyai Mufid. Alhamdulillah, selama di JIH, kesehatan kyai Mufid semakin membaik.Namun, sepertinya takdir berkata lain. Walaupun secara medis keadaan beliau dinilai baik, namun mungkin saat itulah saatnya beliau tutup usia.

Akhirnya, hari itu, selasa kliwon 2 April 2007 (17 rabiul awal 1428), dengan dituntun membaca kalimat tayyibah oleh KH. Mu’tashim Billah dan beberapa anggota keluarganya, beliau menghembuskan nafas terakhir. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Hari itu seolah menjadi hari paling bersejarah bagi umat islam Yogyakarta umumnya dan keluarga Pondok Pesantren Sunan Pandanaran khususnya. Hari itu, sang pendiri, KH. Mufid Mas’ud kembali ke hadapan Allah SWT, tuhan semesata alam.